Tuesday, June 24, 2025
Kolom

Bukan Turki, tapi Saudi yang promosikan normalisasi hubungan dengan Israel

TURKINESIA.NET – KOLOM. Serial Um Haroon atau Mother of Aaron yang diproduksi oleh MBC, perusahaan penyiaran swasta milik Saudi yang berbasis di Dubai, telah memicu kontroversi dan perdebatan tentang keberadaan orang-orang Yahudi di wilayah Teluk dan hubungan mereka dengan komunitas Muslim setempat.

Serial berlatar Kuwait tahun 1940-an ini disinyalir merupakan simbol proyek politik melalui media massa yang berusaha mengubah pandangan Arab soal Israel dan menjadi awal normalisasi hubungan regional dengan negeri zionis tersebut.

Ini adalah drama pertama bikinan sutradara Arab yang membahas hubungan antara Muslim dengan Yahudi di negara-negara Arab Teluk. Drama serial ini disutradarai oleh Ahmad Jamal al-Adl dari Mesir, melibatkan beberapa aktor dan aktris paling terkenal dari Teluk. Hayat Al-Fahad adalah aktris Kuwait terkemuka dan memainkan eponymous “Um Haroon”, sementara Abdul Mohsin Al-Nimr, aktor senior Saudi, memerankan “Rabbi Dawood”.

Film televisi ini muncul di tengah makin mesranya hubungan antara Arab Saudi dan Israel sejak Pangeran Muhammad bin Salman menjadi putera mahkota pada 21 Juni 2017. Kemesraan ini terlihat dengan penerimaan Arab saudi atas proposal damai versi Presiden Amerika Donlad Trump menguntungkan Israel. Riyadh juga mengizinkan wilayah udaranya dipakai oleh pesawat komersial terbang dari dan menuju negara Zionis itu.

Baca juga: Tanggapan untuk Saudinesia: Bukti hubungan gelap Saudi – Israel

Serial ini sengaja ditayangkan selama Ramadhan karena dianggap waktu populer untuk tontonan seperti itu, sehingga para produser memiliki audiensi yang hampir terjamin.

 

Jalur cerita

Film drama ini menggambarkan kehidupan seorang perawat tua Yahudi yang tinggal di Teluk pada 1940-an sebelum pindah ke Israel.

Serial ini mengesankan bahwa Muslim dan penduduk Arab selalu menindas orang-orang Yahudi karena kayakinan yang mereka ikuti.

Dalam pembukaan serial Um Haroon, aktris tersohor Hayat al-Fahad yang berperan sebagai perawat Yahudi menyampaikan monolog dalam bahasa Ibrani. “Sebelum jejak kami hilang dan kehidupan kami menjadi kenangan, kami akan hilang ditelan waktu… Kami adalah orang-orang Yahudi dari kawasan Teluk Persia dan lahir di tanah Teluk Persia.”

Kisah cinta antara Rahil dan Mohammed dalam acara itu semakin memantulkan hubungan Yahudi-Muslim sebagai strategi untuk menciptakan simpati bagi Israel dan membingkai ulang “musuh” sebagai teman yang mungkin. Ada banyak pesan bawah sadar, seperti adegan di mana Ezra bertanya kepada seorang perwira polisi Inggris, “Mengapa orang-orang Palestina tidak pergi ke negara-negara Timur Tengah dengan budaya yang sama?” Ini adalah contoh utama menggunakan TV untuk menggeser perspektif audiens.

Meskipun alur ceritanya menyoroti fakta bahwa Yahudisme bukanlah Zionisme, namun pada akhirnya, tetap merupakan pembenaran tentang penentuan nasib sendiri bangsa Yahudi di “tanah air bersejarah”. Zionisme dengan demikian disajikan sebagai bagian intrinsik dari Yudaisme.

Selain itu, serial ini juga menggambarkan kesan negatif terhadap keluarga Muslim dengan menunjukkan perempuan sebagai konservatif dan laki-laki sebagai radikal, seperti adegan Abdus-Salam memukuli istrinya, sementara Abu Saeed menikahi istri kedua secara diam-diam.

 

Menuai Kritikan

Sejak episode pertama ditayangkan pada malam pertama Ramadhan, sinetron ini langsung menuai kritik dan komentar negatif dari masyarakat Arab. Para kritikus mengatakan bahwa program tersebut mendorong strategi normalisasi beberapa rezim Arab dengan mendistorsi sejarah dan menghapus identitas Palestina. Tidak mengherankan, Isreal menyambut gembira serial itu.

Juru bicara militer Israel Letnan Kolonel Avichay Adraee mengungkapkan kegembiraannya di twitter: “Saya menyukai apa yang dikatakan aktris [Kuwait] Hayat Al-Fahed “Um Haroon” dalam serial tentang orang-orang Yahudi yang hadir di mana-mana dan ini disebutkan dalam kitab Tuhan dan bahwa ada banyak agama di Kuwait.”

Menurut Abdel Bari Atwan dari Rai Al-Youm yang berbasis di London, “Um Haroon adalah yang paling berbahaya dari program normalisasi. Ia mengklaim bahwa itu ditujukan untuk orang-orang Yahudi agar kembali ke Semenanjung Arab dan khususnya ke wilayah Khaybar. ”

Mengutip dari Al Jazeera, para kritikus juga mengecam saluran MBC yang bermarkas di Dubai, yang diduga mencoba membuat warga Palestina memiliki kesan negatif, dengan mempromosikan nomalisasi Israel.

Menteri Kebudayaan Otoritas Nasional Palestina bersama dengan pihak oposisi dan pengkritik terhadap siaran serial Arab Saudi mengutuk serial film tersebut karena serial menunjukkan usaha Saudi untuk normalisasi hubungan dengan rezim Zionis.

Atif Abu Saif menyerukan penghentian siaran serial tersebut, dengan mengatakan “serial seperti itu merupakan penghinaan terhadap sejarah nasional-Arab” dan bahkan telah mendistorsi sejarah dan menyajikan narasi yang berlawanan.

Menteri Palestina itu menyebutkan bahwa produksi serial ini tidak lain adalah usaha untuk mempromosikan normalisasi arab dengan rezim Israel, dan hal ini justru menguntungkan pendudukan Zionis dan mengatakan bahwa serial tersebut ditujukan untuk melayani musuh dan mendistorsi kebenaran.

Terkait kritikan ini, MBC membantah soal pihaknya yang berusaha mengubah pandangan terhadap Israel. Saluran ini juga menolak untuk menghentikan penayangan program acara.

Um Haroon dalam sinetron itu disosokkan mewakili penderitaan perempuan Yahudi sebelum berdirinya negara Israel. Hal ini, menurut para pengkritik drama seri itu, merupakan hadiah yang paling berharga yang diberikan kepada Israel, pada saat Perdana Menteri Benjamin Netanyahu akan mencaplok sebagian besar wilayah Gaza dan sebagian wilayah Yordania.

Kritik lainnya, drama seri “Um Haroon” dinilai sengaja dibuat sebagai persiapan normalisasi hubungan Israel, terutama dengan beberapa negara Teluk.

Media Inggris, the Guardian, dalam laporannya menyebutkan drama Ramadhan di televisi Arab sekarang ini telah mengindikasikan perubahan dalam hubungan Arab-Israel. Berbeda dengan kebiasaan pada tahun-tahun sebelumnya, menurut the Guardian, para produser drama seri pada Ramadhan ini telah berani menyentuh topik baru. Yaitu memanfaatkan sinetron yang ditonton banyak masyarakat untuk menyoroti normalisasi hubungan dengan Israel yang sangat sensitif. Media ini menunjuk dua drama yang bisa diakses masyarakat Teluk pada Ramadhan ini, yang telah menimbulkan kegaduhan dan kontroversi— “Um Haroon” telah berani menyoroti sejarah orang-orang Yahudi di Teluk dan “Exit 7” yang memberikan kesan bahwa Israel bisa jadi bukan lagi musuh.

Petinggi Hamas, Raafat Murrah juga menanggapi serial “Ummu Harun.” Menurutnya, tujuan pembuatan serial ini adalah “menyelewengkan fakta dan menggiring warga Arab Teluk menuju proyek normalisasi hubungan dengan Rezim Zionis.” Kepada kantor berita SAFA, Murrah mengatakan, karakter Ummu Harun yang diperankan aktris Hayat al-Fahad mengingatkan dirinya pada sosok PM Israel ke-4, Golda Meir, yang merupakan “wanita tua pendengki, kriminal, dan pembunuh.” “Serial ‘Ummu Harun’ adalah upaya untuk mengesahkan proyek politik-budaya Zionis di negara-negara Arab,” tandas Murrah. Murrah dalam tweet-nya menegaskan, normalisasi hubungan dengan Israel hanya akan mendatangkan kehancuran dan kesengsaraan. “’Ummu Harun’ ingin memasukkan komunitas Arab Teluk secara bertahap ke frame normalisasi hubungan dengan Israel. Hal ini dilakukan di saat sejumlah penguasa Arab begitu bernafsu menguatkan hubungan dengan Netanyahu demi menjaga takhta mereka,” cuitnya.

Daud Shahab (anggota senior Jihad Islami Palestina) menyatakan, stasiun televisi MBC Saudi berupaya melemahkan kebangkitan bangsa Arab, dengan cara menayangkan serial televisi yang mempropagandakan versi Zionis terkait konflik Palestina-Israel. “Stasiun televisi MBC sedang melakukan ‘peracunan budaya.’ Bukan hanya serial saja, tapi mayoritas program-programnya menyerang norma-norma Islam dan Arab,” kata Shahab, seperti dilansir Palestine al-Youm. “Musuh-musuh kita menggunakan segala senjata mereka untuk membunuh, menguliti, dan menghancurkan identitas kita. Sejumlah media yang mendapat sokongan dana dari sebagian negara telah berpartisipasi dalam terorisme dan kejahatan musuh,” lanjutnya. Shahab berharap, bangsa-bangsa Arab menolak pergeseran norma-norma dan melawan gerakan yang menyerukan normalisasi hubungan dengan Israel.

Dalam wawancara dengan al-Jazeera, Dosen Tafsir di Universitas Kuwait Tariq al-Thawari mengatakan, ”Ada dua kekhawatiran terhadap proyek ‘budaya-seni’ semacam ini. Pertama, ini akan dijadikan dasar klaim bahwa Yahudi di Kuwait atau negara-negara Arab Teluk lain memiliki hak historis. Padahal orang-orang Yahudi seperti ini datang ke Kuwait dari negara-negara lain. Kedua, serial ini adalah mukadimah untuk normalisasi hubungan dengan Israel. Mereka berusaha mengubah sikap antipati Pemerintah dan rakyat Kuwait dengan metode drama-komedi,” lanjutnya.

Para penentang serial “Um Haroon” mengatakan, pembuatan dan penayangan serial itu dalam kondisi saat ini tidak bisa dibenarkan. Terutama ketika warga Palestina masih ditindas dan diperlakukan secara diskriminatif di negeri mereka sendiri.

 

Ambisi busuk dua pangeran

Beberapa percaya bahwa normalisasi bukanlah hal yang baru, tetapi telah didorong oleh perkembangan di Teluk, dengan munculnya para pemimpin muda seperti Putra Mahkota Arab Saudi Mohammad Bin Salman. Ini telah memberi lampu hijau bagi aktivis normalisasi, baik di media arus utama maupun media sosial.

Dua pangeran muda, Mohammad Bin Salman dari Arab Saudi dan Mohammed Bin Zayed dari UEA bergegas untuk mencapai normalisasi hubungan dengan Israel. Mereka ingin menyebarkan racun pemikirannya kepada orang-orang Arab dan mempromosikan kebohongan besar bahwa Israel adalah teman dan bahwa Palestina adalah musuh  dan bahwa sangat penting untuk membangun hubungan persahabatan dengan Israel karena itu adalah yang terbaik dan berbisnis dengan mereka adalah yang terbaik.

Melalui drama inilah mereka melakukan proses pencucian otak orang-orang Arab, untuk mengubah sikap politik dan ideologis mereka terhadap Palestina dan pendudukan Zionis atas wilayah-wilayah Palestina.

Menurut sejumlah analis dan pengamat, serial televisi ini mencurigakan, karena dibuat di masa peluncuran proyek Deal of The Century yang diresmikan Donald Trump dan Benyamin Netanyahu dan Um Haroon dimaksudkan untuk membentuk kesadaran publik dan melemahkan kepahitan dari konflik yang telah berlangsung lama.

Serial ini mencerminkan politik regional yang sedang berlangsung dan membentuk identitas nasional baru di Arab Saudi, yang lebih menerima hubungan dengan Israel. Dukungan Putra Mahkota Mohammad Bin Salman untuk Jared Kushner (menantu Donald Trump), arsitek “kesepakatan abad ini”, telah menciptakan efek riak dalam membentuk persepsi masyarakat Saudi terhadap Israel. Ini terbukti dalam menumbuhkan simpati publik terhadap negara Israel. Pada Juli 2019, misalnya, seorang blogger Saudi mengunjungi Israel dan mengklaim dalam sebuah video bahwa ia “mencintai” Israel; dia bahkan bertemu dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu ketika dia berada di sana, meskipun dia dihina (oleh penduduk Palestina) ketika pergi ke Masjid Al-Aqsa.

Selain Kuwait, yang berkali-kali mengecam normalisasi hubungan Arab-Israel, dan Qatar (walau tidak kentara), negara-negara Arab Teluk dalam setahun terakhir terus berusaha menormalisasi hubungan dengan Tel Aviv, atau setidaknya melakukan persiapan untuk itu. Saudi, Bahrain, dan UEA paling bersemangat untuk menormalisasi hubungan dengan Rezim Zionis. Para petinggi Israel kerap menghadiri seminar dan turnamen internasional di Bahrain dan UEA. Sebagai balasan, tokoh-tokoh politik atau sipil dari dua negara Arab itu juga melawat ke Israel.

Drama ini juga mencurigakan karena bertepatan dengan kampanye sistematis elektronik Saudi dan Emirati di jaringan media sosial, yang termasuk serangan langsung terhadap warga Palestina dan meremehkan pentingnya masalah Palestina dan penghapusan Yerusalem dari ingatan Arab dengan meluncurkan tagar “Palestina bukan urusan”.

Selama dua tahun terakhir, telah muncul gelombang kritik terhadap orang-orang Palestina di dalam masyarakat Saudi sebagai “tidak tahu berterima kasih” atas bantuan dan pengorbanan Kerajaan yang dilakukan atas nama mereka. Hubungan antara Arab Saudi dan Palestina telah memanas selama beberapa tahun terakhir karena pendanaan dan tekanan untuk menerima “kesepakatan abad ini” yang disponsori AS. Hubungan Riyadh dengan Hamas juga memburuk, dengan sejumlah warga Palestina ditangkap Saudi karena dituduh punya hubungan dengan “gerakan teroris”

 

Media, politik, dan bisnis negara

Drama Ramadhan tahun ini adalah murni drama Zionis yang mempromosikan normalisasi tidak hanya di tingkat pemerintahan, tetapi juga di tingkat akar rumput. Mereka ingin membangun di benak warga Arab, keuntungan apa yang telah kita peroleh dari dukungan kita untuk perjuangan Palestina dengan imbalan permusuhan kita dengan Israel?

Media dan industri hiburan tidak beroperasi secara terpisah dari konteks sosial-politik yang lebih luas; media merespons perubahan realitas dan seringkali mendorong propaganda politik. Um Haroon menandai momen bersejarah di wilayah Teluk yang mengindikasikan awal dari prospek kebijakan baru dan perubahan dalam agenda regional Arab Saudi.

Media massa telah digunakan sebagai alat untuk politik dan rekayasa sosial di seluruh dunia sebagai sarana untuk menciptakan kesetiaan dan membentuk pemahaman politik serta identitas nasional. Televisi adalah lembaga utama dalam memahami bangsa sebagai jembatan antara ruang publik dan domestik. Media berfungsi sebagai alat pendidikan dan menghidupkan mitos dan memori melalui karakter simbolik, dan permainan bahasa dan dialog.

Pergeseran narasi menuju simpati untuk Israel menunjukkan munculnya identitas nasional yang lebih parokial berdasarkan kepentingan masing-masing negara. Peristiwa selama beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa Arab Saudi tidak hanya dapat menggeser wacana keagamaan sesuai dengan agendanya sendiri, tetapi juga membentuk kembali identitas etnis demi kepentingan ekonomi. Dalam permainan politik ini, satu-satunya yang konstan adalah kebutuhan untuk menguntungkan negara; teman dan musuh dapat disesuaikan.

Menurut Ikhwanul Kiram Mashuri, beberapa penguasa Arab ada yang berpandangan Israel bukan lagi musuh. Israel bukan ancaman. Yang justru menjadi ancaman adalah Iran. Yang terakhir ini dianggap lebih berbahaya daripada Israel. Konflik yang tadinya Arab-Israel pun diperkecil menjadi konflik Palestina-Israel dan kemudian dikerdilkan lagi menjadi konfik Hamas-Israel.

Berbeda dengan Saudi, dunia perfilman Turki era Erdogan banyak menghasilkan film-film bersejarah nan heroik dan film anti-Israel, sebut saja misalnya “Valley of the Wolves: Palestine” yang menceritakan seorang agen rahasia Turki, Polat Alemdar, berhasil menghabisi salah satu otak operasi penyerbuan Israel. Film tersebut juga hadir dalam bentul serial. Turki juga gencar memproduksi serial-serial sejarah seperti Dirilis Ertugrul, Kurulus Usman, Payitaht Abdülhamid, dan lainnya.

 

Sumber:

https://www.middleeastmonitor.com/20200504-palestine-is-the-cause-of-the-free/

https://www.middleeastmonitor.com/20200511-um-haroon-and-the-politics-of-normalisation-in-the-gulf/

https://www.middleeastmonitor.com/20200428-the-palestinians-and-their-cause-seem-to-be-losing-saudi-arabian-support/

https://www.middleeastmonitor.com/20200504-palestine-is-the-cause-of-the-free/

https://www.republika.id/posts/6528/potret-israel-di-sinetron-ramadhan-arab

 

 

5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

3 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] Bukan Turki, tapi Saudi yang promosikan normalisasi hubungan dengan Israel […]

trackback
5 years ago

[…] – KOLOM. Sayangnya, inti utama dari kami berjudul: “Bukan Turki, tapi Saudi yang promosikan normalisasi hubungan dengan Israel” tidak ditanggapi dengan proposional oleh Saudinesia. Saudinesia hanya fokus pada beberapa […]

RKJABARJUARA
RKJABARJUARA
5 years ago

Lebih baik web ini berisi tentang all about Turki dan Erdogan saja, jangan diisi dengan serangan kepada tokoh lain

3
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x