Organisasi hak sipil Muslim terbesar di AS kecam islamofobia Macron, ingatkan Muslim tidak pergi ke Prancis

TURKINESIA.NET – WASHINGTON. Council on American-Islamic Relations (CAIR) mengecam “upaya Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk mendikte prinsip-prinsip agama Islam” kepada para pemimpin Muslim Prancis.
Di tengah-tengah perselisihan mengenai keberadaan Islam di Prancis, Macron pada hari Rabu memberi waktu dua minggu kepada Dewan Ibadah Muslim Prancis (CFCM) untuk menyusun sebuah piagam. Piagam itu akan berisi “nilai-nilai republik” yang diharapkan dapat dipatuhi oleh organisasi-organisasi anggota dan afiliasinya.
Macron memperingatkan bahwa “jika beberapa tidak menandatangani piagam ini, kami akan menarik konsekuensi dari itu”.
CAIR, organisasi hak-hak sipil Muslim terbesar di Amerika Serikat, mengecam ultimatum tersebut pada hari Kamis, menyatakan bahwa “pemerintah Prancis tidak memiliki hak untuk memberi tahu Muslim atau agama minoritas lainnya bagaimana menafsirkan keyakinan mereka sendiri.”
Perintah itu juga berusaha untuk mengakhiri keterlibatan asing di masjid-masjid Prancis dan membentuk “Dewan Imam Nasional”.
‘Munafik dan berbahaya’
“Presiden Macron harus berbalik arah sebelum bangsanya kembali ke rasisme kolonial dan kefanatikan agama yang menghantui begitu banyak negara Eropa selama berabad-abad. Presiden Macron mengubah ‘Liberté, égalité, fraternité’ menjadi ‘represi, ketidaksetaraan dan perpecahan’,” kata direktur eksekutif CAIR, Nihad Awad mengacu pada semboyan nasional Prancis.
CAIR mengecamnya sebagai “munafik dan berbahaya” dan memperingatkan Muslim Amerika agar tidak bepergian ke Prancis.
Organisasi yang berbasis di AS itu menuduh Prancis memiliki sejarah panjang dalam menindas penduduk Muslimnya.
“Selama 20 tahun terakhir, Prancis telah menerapkan banyak undang-undang yang dirancang untuk membatasi dan menghukum kebebasan beragama, terutama di kalangan Muslim. Prancis telah melarang siswa, guru, dan pegawai negeri, mengenakan simbol-simbol keyakinan mereka yang terlihat, termasuk jilbab, di sekolah atau di tempat kerja,” CAIR menunjukkan dalam pernyataannya.
Rencana Macron telah dikritik oleh beberapa dari komunitas Muslim domestik, serta oleh organisasi internasional. Keputusan itu diambil setelah terjadinya pembunuhan Samuel Paty, seorang guru sekolah yang dibunuh pada bulan Oktober setelah menunjukkan karikatur Nabi Muhammad di kelasnya tentang kebebasan berbicara. Serangan lain di kota Nice menyebabkan tiga orang tewas pada bulan yang sama.
Beberapa minggu sebelumnya, presiden Prancis memicu kontroversi dalam pidatonya di mana dia menyebut Islam sebagai “agama dalam krisis” dan bersumpah untuk menindak tegas “separatisme” Muslim. Pernyataan Macron telah mengakibatkan protes internasional dan boikot terhadap produk Prancis.
Rancangan undang-undang tentang “separatisme” direncanakan akan diajukan ke kabinet Prancis pada 9 Desember.
Akreditasi para imam
Macron juga telah mengindikasikan bahwa dia ingin sekitar 300 imam dari negara-negara meliputi Turki, Maroko dan Aljazair yang saat ini bekerja di Prancis untuk meninggalkan negara itu dalam waktu empat tahun.
Tidak seperti Katolik atau Gereja Ortodoks Yunani, Islam tidak memiliki kepemimpinan terpusat yang dapat mempersulit upaya Prancis untuk mengkonsolidasikan pelatihan dan akreditasi pemimpin komunitas agama.
Masih belum jelas konsekuensi apa yang akan dihadapi para imam dan organisasi yang tidak mematuhi piagam masa depan. Namun, AFP melaporkan bahwa, di bawah dewan nasional yang direncanakan, para imam akan menerima jenis kartu akreditasi yang dapat diberikan atau dicabut berdasarkan keterikatan mereka pada piagam tersebut.
Sumber: Middle East Eye