
Oleh Dr. Teuku Zulkhairi, MA.*
TURKINESIA.NET – KOLOM. Macron gagal memanfaatkan milisi PKK untuk merusak Turki di perbatasannya. Di Mediterania timur, dia juga menuai kekalahan dalam mendukung Yunani. Macron gagal sepenuhnya membujuk Eropa untuk menghukum Turki dan membela Yunani. Sejauh ini tak ada negara Eropa yang mau berhadapan dengan Turki. Jerman sudah jelas merangkul Turki meskipun di dalam negerinya Islamphobia juga semakin dihidupkan. Begitu juga Inggris.
Bagaimana Eropa mau melawan sementara banyak di antara mereka menerima bantuan Turki dalam melawan Covid-19. 150 lebih negara dibantu Turki dalam masa Covid ini.
Pada front Afrika, seiring menguatnya pengaruh Turki di benua Afrika, Prancis juga semakin merasa tersisih karena orang-orang Afrika semakin sadar bahwa selama ini kampanye kebebasan Prancis di tanah Afrika hanyalah kedok untuk penjajahan modern.
Pada saat yang sama, hubungan Turki dengan sejumlah negara Afrika justru sedang berada pada momentum terbaik sejak 10 tahun terakhir. Turki tercatat telah melatih militer sejumlah negara Afrika seperti Libya dan Somalia. Bahkan, Niger sebagai salah satu negara bekas jajaran Prancis baru-baru ini juga menandatangani perjanjian kerjasama pertahanan militer dengan Turki.
Kekalahan Prancis berlanjut. Macron yang mendukung pemberontak Haftar kembali gagal dan kalah di Libya. Pemerintahan sah dukungan Turki tetap eksis di Libya dan dimana pemberontak dukungan Macron dan sekutunya semakin tersingkir.
Lebih perih lagi, pada front Nagarno-Karabakh, Armenia yang didukung Prancis (serta Rusia dan Iran) juga kalah menyakitkan melawan Azerbaijan yang didukung Turki. Azerbaijan hingga saat ini hampir berhasil menguasai sebagian besar wilayahnya yang dicaplok Armenia puluhan tahun silam.
Lucunya, Macron justru memindahkan perangnya untuk melawan Muslim di dalam negerinya sendiri, Prancis. Tapi ia juga akan kalah dengan izin Allah tentu saja.
Ia mendukung majalah Charlie Hebdo Prancis menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia juga membangun permusuhan dengan Islam dan kaum Muslim. Kini, di Twitter dia mencuit dalam bahasa Arab bahwa dirinya menghormati perbedaan dalam semangat perdamaian. Tapi ia menerima balasan yang sangat menghujam dari para netizen Arab yang mengomentari cuitannya.
Netizen Arab justru mengirim foto-foto dan video mereka menginjak foto kepala Macron. Sebuah penghinaan tentu saja. Netizen juga mengungkit kejahatan Prancis di masa lalu.
Mungkin, si Macroni ini berfikir bahwa ia bisa menarik dukungan Arab dalam proyek kebenciannya kepada Muslim di Prancis. Tapi ia justru menerima balasan yang di luar dugaan. Publik Arab di berbagai negara justru menyeru boikot produk Prancis yang membuat mereka kelabakan.
Dia lupa bahwa para pemimpin Arab yang menjilat Barat dan Israel selama ini tidaklah mewakili para rakyatnya. Rakyatnya punya idealisme sendiri.
Dia berfikir bahwa ketika dia menyerang Islam, maka itu adalah perangnya hanya dengan Erdogan. Akibat terlalu obsesi menghambat kebangkitan Turki dan kepemimpinan Erdogan, dia menyerang Islam dan akhirnya Muslim sedunia justru bangkit melawan Macron ini.
Alih-alih ia membuka front baru melawan Muslim di negerinya sendiri sebagai kelanjutan dari “perangnya” melawan pengaruh Turki, ia justru melanjutkan Kekalahannya di front ini.
Jika di awal hanya Erdogan yang menghantam Macron dengan kalimat yang menusuk, kini dunia Islam yang justru bersatu melawannya.
Akhirnya, Prancis meminta kampanye boikot produk mereka di dunia Islam agar dihentikan. Tapi apa yang terjadi? Kini Erdogan sendiri yang muncul menyeru 80 juta rakyatnya untuk bersatu memboikot produk Prancis. Artinya, kampanye Muslim melawan Islamphobia Prancis baru saja dimulai.
Maka betul seperti kata Erdogan, kampanye Islamphobia di Eropa hanya akan menghancurkan diri mereka sendiri dari dalam. Semoga.
*Penulis merupakan dosen UIN Ar-Raniry Aceh
Mantap that Ampon….
Kami tunggu tulisan berikutnya…
Mantap lanjutkan pembelaan atas penghina nabi Muhammad Saw..
Merinding gaesss. Allahumma shollo ‘alaaa muhammad
Matilah kau, macron, si culas yg arogan
Luar biasa strategi Erdogan